Malam sabtu, sesuai dengan permintaan Bara kemarin agar Ai menemaninya pergi ke resepsi pernikahan Abel. Tadinya, Bara pikir tidak apa-apa kalau pergi sendiri tapi rasanya akan jadi sepi kalau dia harus pergi sendiri. Walaupun, Bara juga sudah mengantisipasi sih kalau ada pertanyaan “ini siapa?” ketika teman satu kantornya bertanya tentang Ai yang ia bawa ke resepsi pernikahan Abel.
“Nanti kalo temenku nanya, kamu siapanya aku. Kamu bakal jawab gimana, Yi?”
Ai tertawa kecil karena menurutnya pertanyaan Bara sangat lucu.
“Kok malah ketawa?”
“Kamu mau aku ngakunya sebagai apa? Kalo kamu mau aku ngakunya sebagai temen kamu. Aku enggak apa-apa kok karena aku tau kamu tuh tertutup banget soal hubungan percintaan kamu. Aku juga gitu kok, Bar.” jawab Ai membuat Bara sedikit mengubah posisi duduknya. Bara ingin mendengar penjelasan Ai.
“Aku enggak banyak cerita ke temen-temenku soal hubungan percintaanku. Makanya, banyak yang ngira kalo aku masih sendiri. Waktu papa kamu dirawat di rumah sakit aku bilang ke temen-temenku kalo kamu itu temen SMA-ku karena aku takutnya kamu enggak nyaman dan malah jadi perhatian di rumah sakit. Jadi, ya gitu deh. Kalo kamu maunya aku ngaku jadi temen kamu ya enggak apa-apa. Kita jadi impas.”
Bara mengelus pipi Ai ketika mobil Ai berhenti dipersimpangan lampu merah. Tangannya lalu menggenggam tangan Ai sambil mengelusnya.
“Kayaknya enggak usah disembunyiin lagi deh. Biar aja temen kantorku tau kalo kamu itu pacarku, tunanganku yang sebentar lagi nikah sama aku. Toh, bosku juga udah tau aku punya rencana menikah sama seorang dokter kok.”
Ai tersenyum sambil mengelus puncak kepala Bara. Kalau saja lampu lalu lintas tidak berubah jadi waktu hijau mungkin Ai akan membubuhkan satu kecupan pada kening Bara.
“Jadi, sekarang udah boleh ngaku jadi tunangan kamu? Aku pikir kita bakal tetep backstreet.” Ai terkekeh membuat Bara mendengus kesal.
“Dasar kuno! Udah enggak usah backstreet, backstreet lagi deh!”
Ai tertawa lebar mendengar keluhan Bara. Kenapa sih Bara begitu menggemaskan dimatanya?
Hal yang sama-sama terjadi pada Ai dan Bara ketika mereka sampai di gedung resepsi adalah kaget dengan ramainya orang yang berlalu-lalang dan bagaimana dekor gedung yang sangat indah. Suasana yang nampaknya tidak begitu asing tapi karena ini kali pertamanya mereka datang ke resepsi pernikahan berdua jadi kesannya agak canggung.
“Aku jadi agak gugup.” bisik Bara ketika memasuki gedung resepsi Abel.
“Bukan cuma kamu doang kok. Karena ini perdana pergi ke nikahan sama kamu rasanya aku jadi mual.” balas Ai yang langsung membuat Bara panik.
“Beneran mau muntah?”
“Enggak.”
Sebenarnya, agak berlebihan tapi mereka berdua jadi membayangkan bagaimana nanti ada disituasi ini. Bagaimana mereka harus mengadakan acara sebesar ini untuk sekali seumur hidup dan bagaimana mereka menyambut tamu undangan mereka.
“Kira-kira budgetnya Abel berapa ya bisa bikin resepsi di ballroom hotel segede ini?” gumam Bara.
“Keren juga nih venue-nya, Bar.” kata Ai sambil mengenggam tangan Bara. Takut hilang, katanya.
Bara mengangguk. Ia bilang pada Ai untuk bertemu dengan teman-teman kantornya dulu dan seperti yang sudah ia duga kalau teman kantornya akan bertanya siapa orang yang ia gandeng. Bara jelas menyebut Ai sebagai tunangannya. Tidak hanya teman kantor Bara yang terkejut tapi juga Ai. Hal itu, membuat Ai mengenggam lebih erat tangan Bara.
“Cepet nyusul lo, Bar!” ucap salah satu teman Bara.
“Amin, doain aja lah akhir tahun ini gue yang ngundang lo, ya.” ucap Bara dengan nada bercanda.
Setelah bertemu dengan Abel dan mengucapkan selamat menempuh hidup baru serta menikmati beberapa menu makanan di resepsi pernikahan Abel. Bara dan Ai memutuskan untuk pulang.
“Yi, sebentar!” Bara berhenti sebentar. Kakinya terasa sakit karena ia memakai sepatu pantofel yang solnya agak keras. Itu membuat tumit Bara jadi sakit apalagi tadi ia berdiri cukup lama.
“Kenapa?” tanya Ai bingung.
“Tumit aku sakit banget. Aku salah pake sepatu. Tadinya, aku pikir untuk milih sol yang agak tinggi tapi jadinya malah sakit banget.”
Ai menatap Bara yang meringis sambil memegang pundaknya sebagai pegangan untuk Bara menjaga keseimbangannya.
“Kamu tunggu sini. Aku ambilin sendal di mobil. Kebetulan aku ada sendal dimobil.” kata Ai lalu berlari kecil menuju parkiran mobil untuk mengambil sendal selop yang ia bawa di mobil.
Tak beberapa lama, Ai kembali sambil membawa sendal selop berwarna hitam lalu menyuruh Bara mengganti sepatunya dengan sendal yang Ai bawa. Perlakuan Ai membuat Bara tersenyum kecil. Apalagi, ketika Ai membawa sepatunya ditangan kiri lalu mengenggam tangannya dengan tangan kanan.
“Makasih, ya.” kata Bara sambil tersenyum hingga matanya berbentuk bulan sabit.
“Iya, sama-sama. Besok-besok pakai sepatunya yang nyaman, ya. Kasian kaki kamu kalo dipaksa pakai sepatu kayak begini.” kata Ai sambil menunjuk sepatu pantofel Bara yang ia bawa ditangannya.
“Iya, pak dokter.”
Bara menatap jahil Ai lalu mereka sama-sama tertawa.
“Aku tuh suka lemah sama cowok act of service.”
“Halah!” Ai merotasikan kedua bola matanya malas membuat Bara tertawa lebar.
Cepat-cepat Bara mencuri kecup pada pipi Ai karena ia tidak tahan akan kegemasan sang kekasih. Bara benar-benar mencintai lelakinya ini dengan segenap hatinya.
“Aku enggak akan pernah biarin kamu pergi, Yi. Aku udah jatuh cinta sama kamu. Tolong, buat aku jatuh cinta sama kamu terus tiap hari.”
“I will.”
Ai merengkuh pinggang Bara sebelum akhirnya mengecup bibir Bara. Untung area parkiran sedang sepi dan sedikit gelap karena mobil Ai terpakir agak pojok.
TIN!
Mereka tersentak kaget ketika mendengar suara klakson yang membuat mereka menyudahi ciuman mereka dan setelahnya mereka tertawa karena kejadian itu. Sepertinya, mereka harus mengurangi melakukan hal-hal intim di area publik.