iby

Untuk Gian si Raksasaku...

Gian, apa kabar? Apa kamu udah menerima suratku dan membacanya? Aku harap kamu sekarang lagi membaca surat ini.

Gian, aku sudah lama sakit. Bahkan, aku enggak tahu berapa lama lagi aku hidup. Kedua orang tuaku itu orang yang hebat. Mereka berkali-kali mempertahankan hidupku sampai aku bertemu kamu.

Gian, Tara enggak pernah dapet rasa cinta itu dari orang lain karena dari kecil pandangan orang-orang ke Tara selalu aneh. Kata orang, Tara itu menyeramkan. Seperti monster! Tapi, ternyata Gian berani sama Tara.

Terima kasih, Gian karena Gian enggak pernah malu punya pacar kayak Tara. Gian yang selalu bela dan lindungi Tara kalau ada orang-orang yang nakal.

Terima kasih, Gian untuk semua waktu dan kenangan yang udah kamu kasih untuk aku. Tara, senang bisa bertemu Gian dan menjalin hubungan dengan Gian. Gian selalu memberikan rasa cinta dan sayang untuk Tara seperti ayah juga ibu berikan ke Tara.

Terima kasih, Gian sudah merayakan semua momen bersama Tara termasuk merayakan kematian Tara...

Gian, harus bertemu dengan orang baik ya! Yang bisa jaga Gian lebih baik daripada Tara. Tara pamit ya, Gian. Tara minta maaf belum bisa menjaga Gian dan harus pergi duluan.

Selamat tinggal, Gian.

Yang selalu mencintaimu, Tara.

Gian tidak pernah marah pada Tara tapi kali ini rasanya ia ingin marah karena Tara meninggalkannya. Bukan untuk sementara tapi untuk selama-lamanya. Baru ia ketahui dari cerita Ibu kalau Tara sakit. Tara sakit dan Gian tidak ada disamping Tara.

“Ra, kamu...” tangan Gian yang bergetar memegang pinggiran peti mati Tara yang berwarna putih.

“Cantik, Ra. Peri kecil Gian selalu cantik.”

Gian masih belum bisa percaya padahal jelas-jelas ia melihay bagaimana kekasihnya tidur didalam peti mati. Rasanya, saat ini bukan Tara kekasihnya yang tertidur disana.

“Apa yang aku takutin ternyata kejadian ya, Ra? Larangan buat enggak khawatir sama kamu ternyata begini akhirnya. Aku marah sama kamu, Ra. Aku marah karena kamu begini. Diam lalu pergi.”

Disentuhnya tangan hangat itu lalu diusap pelan. Wajah Gian mendekat lalu memberikan kecup pada tangan Tara.

“Gian, Tara meminta ibu untuk memberikan ini ke kamu.” kata ibu Tara sambil memberikan secarik surat yang dilipat rapi.

Gian menerima surat itu. Ia kantongi di kantong jaketnya. Gian simpan baik-baik surat itu sampai ia siap membuka dan membacanya.

“Jangan, bu.” cegah Tara ketika ia tahu ibunya pasti ingin memberitahu Gian perihal penyakitnya. “Jangan kasih tau Gian kalau Tara dirawat di rumah sakit. Tara enggak mau Gian khawatir.”

“Tapi, nak...”

“Bu, Tara mohon. Jangan, ya. Nanti kalau Tara sudah lebih baik. Biar Tara yang kasih tau Gian.”

Wanita paruh baya itu menghela nafas. Ia kembali mengantongi ponselnya. Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala sang anak kesayangan.

“Kan udah biasa. Ibu harusnya enggak perlu khawatir lagi kan?”

Ibu Tara mengangguk pelan. Namun, wanita paruh baya itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pasalnya, ia sudah tahu sampai mana hidup anaknya. Kata dokter, jika tidak mengalami fase kritis lagi Tara bisa bertahan.

“Nanti, kalau sudah sembuh. Tara mau beli tanaman baru ya, bu. Aku sedikit rindu berkebun dengan Gian.”

“Tara kangen Gian, ya?”

Tara menggeleng. Ia tidak mau ibunya memanggil Gian kesini. Tara tidak ingin kekasihnya melihat keadaan sakitnya.

“Loh?”

“Enggak, bu. Aku bilang gini supaya ibu enggak panggil Gian kesini. Aku enggak mau Gian liat aku pake baju rumah sakit.”

Ibu Tara tersenyum kecil. Baiklah, hari ini ia akan mengalah untuk anak sematawayangnya itu.

Yang Gian lakukan sesaat setelah ia menerima kabar kekasihnya yang sedang sakit adalah langsung pergi ke rumah Tara untuk melihat keadaan sang kekasih. Gian benar-benar khawatir. Terakhir, Tara sakit. Laki-laki mungil itu harus dirawat di rumah sakit selama tiga minggu. Gian tahu jika kekasihnya itu memang punya kondisi yang lemah akibat penyakit albino yang diderita Tara.

“Ibu, Tara...”

“Masuk dulu, Yan. Tara ada di kamar. Pakai masker, ya. Takut kamunya ketularan.” ucap Ibu dengan suara lembut. Seperti tahu jika Gian khawatir dengan Tara.

Gian menatap Ibu dengan tatapan khawatir. Ia masuk dengan langkah pelan sambil pundak dielus oleh Ibu.

“Tara enggak apa-apa, Yan. Memang badannya demam tadi pagi tapi sekarang sudah turun. Naik aja coba ke atas.” kata Ibu lagi sambil memberikan masker kepada Gian.

“Gian izin ya, bu.” kata Gian yang langsung diberikan anggukan oleh wanita paruh baya itu.

Gian membuka pelan pintu kamar Tara. Mata Gian menatap kekasihnya yang sedang tidur dibalim selimut tebal dengan plester penurun panas yang menempel didahinya dari jauh. Ia berjalan mendekat secara perlahan agar tidak menganggu tidur sang kekasihnya. Tangannya mengelus rambut Tara pelan.

Peraturan pertama, jangan pernah membahas soal penyakit Tara. Gian masih ingat betul bagaimana permintaan sang kekasih untuk tidak membahas penyakitnya. Katanya, Tara ingin dilihat sebagai manusia normal walaupun kebanyakan orang menyebutnya vampir.

“Aku enggak mau buat Gian khawatir soal penyakitku. Jadi, tolong jangan bahas soal itu.”

Setelah itu, Gian tidak pernah lagi membahas soal penyakit albino Tara walaupun rasa khawatir itu tidak hilang sepenuhnya apalagi ketika tahu bahwa Tara harus pergi ke rumah sakit untuk kontrol bulanan. Gian tahu jika sang kekasih punya daya tahan tubuh yang lemah.

“Gimana aku enggak khawatir, Ra kalo kamu sakit begini? Aku selalu khawatir sama kamu tapi aku enggak pernah bilang karena aku tau kalau kamu enggak suka. Tapi, tolong, Ra. Biarin kali ini aku ngelihatin rasa khawatir aku ke kamu.” gumam Gian sambil terus mengelus pelan puncak kepala Tara.

Tara membuka matanya yang terlihat sayu itu. Hal itu membuat Gian menarik tangannya.

“Aku kan bilang enggak apa-apa. Kenapa masih datang? Kalau Gian ketularan aku gimana?”

“Ra, gimana aku khawatir sama kamu. Tolong, kali ini aja, Ra. Tolong, biarin aku ngasih tau ke kamu kalo aku khawatir sama kamu. Aku tau kamu enggak mau keliatan lemah, kamu enggak mau keliatan kalo kamu sakit tapi aku selalu khawatir sama keadaan kamu.”

“Yan, aku juga khawatir sama kamu kalo kamu bakal sakit kayak aku juga karena aku enggak punya kemampuan kayak orang lain buat ngejagain kamu. Jadi, tolong jaga diri...”

“Siapa bilang kalau kamu enggak bisa jaga aku?” tanya Gian sambil melepas masker yang ia pakai. “Kamu selalu jaga aku kok. Kamu enggak ada bedanya sama orang lain. Kamu sama kayak mereka dalam hal menjaga aku.”

Tara terdiam. Sorot mata khawatir yang Tara tangkap membuat Tara memeluk Gian. Tidak peduli lagi jika nanti Gian tertular yang penting sekarang Tara bisa menenangkan Gian dulu.

“Badan kamu anget. Enak.” gumam Gian sambil mencuri kecup pada pundak. “Kayaknya kalo aku enggak nengok kamu. Aku enggak bakal ngerasain badan sehangat ini.”

Tara yang kini duduk dipangkuan Gian hanya mendengus kesal. Suhu tubuh Gian yang dingin membuat Tara nyaman.

“Nanti kalau kamu ketularan...”

“Cuma flu. Semua orang pernah kena flu, Tara bahkan aku beberapa kali pernah kena flu akhirnya sembuh juga kan? Itu penyakit yang kecil!”

“Kamu tuh badung banget deh!”

Gian tertawa lalu membubuhkan kecupan pada kedua pipi Tara.

“Sayangnya Gian cepat sembuh ya biar bisa main bareng Gian lagi. Okay?”

“Okay! Terima kasih, Gian udah mau jenguk Tara.”

Gian mengangguk. “Aku kelonin ya tidurnya.”

“Gian, udah malem tau. Kamu enggak mau pulang apa?”

“Aku bakal pulang kalo kamunya udah tidur. Sekarang aku mau kelonin peri kecil aku dulu sampe pergi ke dunia mimpinya.”

Tara tersenyum. Ia sungguh tidak pernah disayang sebegini besarnya oleh orang lain selain ibu dan ayahnya. Tara pikir ia benar-benar bertemu dengan orang yang tepat. Bertemu dengan Gian adalah hal yang paling indah yang pernah ia rasakan selama hidupnya.

Gian, kalau nanti umurku enggak panjang. Setidaknya, aku sudah pernah merasakan hal indah seperti ini; disayang dengan seluruh cinta dari dirimu.

Gian mungkin tidak tahu jika doa terbesar Tara adalah berumur panjang agar tetap bisa merasakan afeksi sayang dari seorang Gian.

“Gian...”

“Enggak apa-apa, Ra. Nanti, Ibu bilang ke mamanya Gian kalau anaknya ketiduran.” kata Ibu yang kebetulan masuk ke kamar Tara untuk membawa minum baru untuk Tara.

“Terima kasih, ibu.”

Mark mengangkat tubuh hybrid anjing itu dengan handuk yang membalut tubuhnya. Perlu tenaga ekstra untuk mengembalikan warna putih bulu Neno seperti semula. Sekarang, yang harus Mark lakukan adalah mengeringkan bulu Neno sebelum akhirnya menyuruh hybrid itu tidur.

“Jangan main dikubangan lumpur lagi, Neno! Kamu buat aku capek aja. Kalo besok kamu masih enggak mau dengerin aku. Aku bakal kirim kamu ke shelter! Biarin aja walaupun kamu hybrid.” ancam Mark sambil menatap tajam Neno.

Neno menatap Mark. Seketika mengubah dirinya menjadi wujud manusia tanpa memikirkan Mark. Jelas, Mark terkejut karena keadaan Neno yang telanjang bulat. Ia cepat menutup bagian privasi Neno dengan membalut tubuh Neno dengan handuk.

“Neno! Jangan kebiasaan mengubah wujud kamu dari hybrid ke manusia dong! Astaga!”

Telinga hybrid Neno turun kebawah. Wajahnya menjadi murung dengan bibir yang sedikit bergetar. Ekornya yang biasanya naik keatas dan bergoyang kini hanya bisa terbujur lemas dilantai. Neno sedih karena dimarahi Mark.

“Jangan marahi Neno terus. Neno kan cuma ingin main karena dari kemarin Mark sibuk di Cafe. Neno tidak punya teman bermain. Tadi Neno saja main sendiri.”

Hati Mark sedikit mencelos. Ah, hybridnya ini kesepian rupanya. Mark jadi sedikit merasa bersalah karena ini.

“Oke, sekarang pakai baju kamu di kamar. Nanti kamu tidur sama aku aja. Jangan tidur di kamar kamu. Oke?”

Mata Neno membulat senang. Ekornya bergoyang dan telinganya bergerak lucu menandakan bahwa hybrid itu sudah memiliki mood yang baik.

“Yeay! Tidur bareng markie! Neno janji enggak main dikubangan lumpur lagi.”

“Oke, aku pegang janji kamu, Snowball.”

Snowball adalah panggilan lain dari Mark karena Neno mirip bola salju yang besar karena bulu putihnya.

satu kecupan mendarat dipipi kiri marko. laki-laki manis itu tersenyum dengan mata bulan sabitnya sambil menyerahkan satu goodie bag berwarna putih pada sang kekasih.

happy birthday, my best fiance!”

thank you!” marko memeluk jerash dengan erat setelah ia menerima kado dari sang kekasih.

marko melepas pelukan itu. ia menaruh kado jerash sebelum akhirnya mengenggam kedua tangan jerash dengan erat. ia menatap mata jerash dengan lekat diberengi oleh senyum kecil dari bibir tipisnya.

“doa aku di hari ulang tahunku itu banyak, jer. bukan cuma untuk diriku aja tapi juga untuk kita. semoga hubungan kita baik-baik aja walaupun nantinya pasti akan ada satu dua masalah yang menimpa aku berdoa semoga kita bisa sama-sama menyelesaikan masalah yang datang itu dan tahun ini harapan terbesarku adalah melangkah lebih jauh bersama kamu, jer. jadi, pasangan kamu sampai tua dalam ikatan pernikahan.”

“amin! semoga doa dan harapan kamu terkabul ya, sayang.”

“WOI, gimana sih ini yang ulang tahun malah mojok. potong kue dulu sama tiup lilin dulu dong!” suara haikal membuat marko menggelengkan kepalanya.

“yuk, kamu udah ditunggu sama yang mau makan kue.” kata jerash sambil tertawa.

“ganggu aja, anjirt. udah gede juga masih suruh tiup lilin.”

jerash hanya tertawa mendengar keluhan marko. tangannya menggandeng tangan sang kekasih untuk berkumpul dengan keluarga juga teman-teman marko. hari ini, marko merayakan ulang tahunnya dengan banyak doa juga harapan. semoga apa yang diharapkan akan terwujud secepatnya

“gila, ya!” jerash memukul lengan marko ketika laki-laki itu menghampirinya.

“daripada kamu bimbingan cuma sendiri.” ucap marko sambil merangkul jerash.

“tapi, kamu kan kerja, ko. kamu bilang gimana ke atasan kamu?”

“mbak jorie, izin ya soalnya ada urusan mendadak mau anter mama ke rumah sakit.” kata marko sambil tersenyum nakal.

mendengar jawaban marko. jerash langsung mencubit pinggang marko hingga kekasihnya itu mengaduh kesakitan. namun, jerash juga tidak bisa bohong jika dirinya senang sekaligus tidak menyangka jika marko akan menemaninya.

“aku kan enggak pernah nemenin kamu bimbingan padahal dulu kamu selalu nemenin aku. rasanya, enggak adil aja kalo aku enggak ada buat kamu disaat kayak gini. lagian ya, jer aku enggak mau buat kamu ngerasa sendiri.” marko menatap jerash dengan tatapan yang teduh sambil tersenyum kecil.

“tapi, jangan sering-sering ya, ko. nanti kamu malah ketauan sama atasan kamu, gimana?”

“iya, sayang.” kata marko sambil mencubit pipi jerash. “good luck, bimbingannya. aku tunggu disini, ya.”

jerash mengangguk sebelum masuk kedalam ruangan dosen untuk melakukan bimbingan skripsinya. setelah kurang lebih satu jam, jerash keluar dari ruangan dosen dengan wajah lelahnya.

“gimana? masih ada yang harus direvisi buat bab dua sama tiganya?” tanya marko sambil berdiri.

jerash mengangguk lemah. ia menaruh kepalanya dipundak marko dan dengan cepat marko memeluk jerash.

“enggak apa-apa, sayang. kamu udah hebat kok bisa selesaiin bab dua sama tiga kamu. enggak apa-apa kalo ada revisi, sayang. kan biar nanti pas kamu sidang revisinya enggak terlalu banyak. enggak apa-apa, ya?”

“aku capek banget.” kata jerash dengan suara yang sedikit bergetar.

it's okay. aku anter kamu pulang, ya? aku nanti izin buat enggak masuk kantor seharian ini. aku temenin kamu.”

jerash menegakkan kepalanya. ia lalu menggeleng cepat. raut wajahnya berubah menjadi marah.

“aku enggak mau cuma gara-gara aku kamu jadi enggak kerja gini, ko. jangan jadiin kerjaan kamu jadi nomor dua karena aku. kamu tuh punya tanggung jawab, ko. jangan semuanya itu soal aku. kamu tetep punya prioritas lain dan bukan cuma aku.”

“emang kamu enggak apa-apa?”

“enggak usah khawatir yang berlebihan. aku kayaknya harus nyari kegiatan lain aja buat distrak diri aku disamping aku lagi ngerjain skripsi. aku kayaknya mau ambil beberapa job photoshoot lagi.”

“beneran? tapi, let me know kalo kamu ada apa-apa ya, jer. jangan kamu pendam sendiri.”

“iya, enggak, marko.”

“yaudah, sekarang aku anterin kamu pulang. aku izin sampai jam makan siang. kalo telat dikit enggak apa-apa deh. bilang aja macet.”

jerash mendengus kesal tapi ia tersenyum kecil apalagi ketika tangannya digenggam oleh marko.

“dimana lagi aku nyari cowok kayak kamu ya, ko.”

“aku mah cuma satu-satunya buat kamu, jer.”

lagi, jerash tertawa. dasar, marko. tapi, benar apa katanya. marko tuh enggak ada yang lain.

Malam sabtu, sesuai dengan permintaan Bara kemarin agar Ai menemaninya pergi ke resepsi pernikahan Abel. Tadinya, Bara pikir tidak apa-apa kalau pergi sendiri tapi rasanya akan jadi sepi kalau dia harus pergi sendiri. Walaupun, Bara juga sudah mengantisipasi sih kalau ada pertanyaan “ini siapa?” ketika teman satu kantornya bertanya tentang Ai yang ia bawa ke resepsi pernikahan Abel.

“Nanti kalo temenku nanya, kamu siapanya aku. Kamu bakal jawab gimana, Yi?”

Ai tertawa kecil karena menurutnya pertanyaan Bara sangat lucu.

“Kok malah ketawa?”

“Kamu mau aku ngakunya sebagai apa? Kalo kamu mau aku ngakunya sebagai temen kamu. Aku enggak apa-apa kok karena aku tau kamu tuh tertutup banget soal hubungan percintaan kamu. Aku juga gitu kok, Bar.” jawab Ai membuat Bara sedikit mengubah posisi duduknya. Bara ingin mendengar penjelasan Ai.

“Aku enggak banyak cerita ke temen-temenku soal hubungan percintaanku. Makanya, banyak yang ngira kalo aku masih sendiri. Waktu papa kamu dirawat di rumah sakit aku bilang ke temen-temenku kalo kamu itu temen SMA-ku karena aku takutnya kamu enggak nyaman dan malah jadi perhatian di rumah sakit. Jadi, ya gitu deh. Kalo kamu maunya aku ngaku jadi temen kamu ya enggak apa-apa. Kita jadi impas.”

Bara mengelus pipi Ai ketika mobil Ai berhenti dipersimpangan lampu merah. Tangannya lalu menggenggam tangan Ai sambil mengelusnya.

“Kayaknya enggak usah disembunyiin lagi deh. Biar aja temen kantorku tau kalo kamu itu pacarku, tunanganku yang sebentar lagi nikah sama aku. Toh, bosku juga udah tau aku punya rencana menikah sama seorang dokter kok.”

Ai tersenyum sambil mengelus puncak kepala Bara. Kalau saja lampu lalu lintas tidak berubah jadi waktu hijau mungkin Ai akan membubuhkan satu kecupan pada kening Bara.

“Jadi, sekarang udah boleh ngaku jadi tunangan kamu? Aku pikir kita bakal tetep backstreet.” Ai terkekeh membuat Bara mendengus kesal.

“Dasar kuno! Udah enggak usah backstreet, backstreet lagi deh!”

Ai tertawa lebar mendengar keluhan Bara. Kenapa sih Bara begitu menggemaskan dimatanya?

Hal yang sama-sama terjadi pada Ai dan Bara ketika mereka sampai di gedung resepsi adalah kaget dengan ramainya orang yang berlalu-lalang dan bagaimana dekor gedung yang sangat indah. Suasana yang nampaknya tidak begitu asing tapi karena ini kali pertamanya mereka datang ke resepsi pernikahan berdua jadi kesannya agak canggung.

“Aku jadi agak gugup.” bisik Bara ketika memasuki gedung resepsi Abel.

“Bukan cuma kamu doang kok. Karena ini perdana pergi ke nikahan sama kamu rasanya aku jadi mual.” balas Ai yang langsung membuat Bara panik.

“Beneran mau muntah?”

“Enggak.”

Sebenarnya, agak berlebihan tapi mereka berdua jadi membayangkan bagaimana nanti ada disituasi ini. Bagaimana mereka harus mengadakan acara sebesar ini untuk sekali seumur hidup dan bagaimana mereka menyambut tamu undangan mereka.

“Kira-kira budgetnya Abel berapa ya bisa bikin resepsi di ballroom hotel segede ini?” gumam Bara.

“Keren juga nih venue-nya, Bar.” kata Ai sambil mengenggam tangan Bara. Takut hilang, katanya.

Bara mengangguk. Ia bilang pada Ai untuk bertemu dengan teman-teman kantornya dulu dan seperti yang sudah ia duga kalau teman kantornya akan bertanya siapa orang yang ia gandeng. Bara jelas menyebut Ai sebagai tunangannya. Tidak hanya teman kantor Bara yang terkejut tapi juga Ai. Hal itu, membuat Ai mengenggam lebih erat tangan Bara.

“Cepet nyusul lo, Bar!” ucap salah satu teman Bara.

“Amin, doain aja lah akhir tahun ini gue yang ngundang lo, ya.” ucap Bara dengan nada bercanda.

Setelah bertemu dengan Abel dan mengucapkan selamat menempuh hidup baru serta menikmati beberapa menu makanan di resepsi pernikahan Abel. Bara dan Ai memutuskan untuk pulang.

“Yi, sebentar!” Bara berhenti sebentar. Kakinya terasa sakit karena ia memakai sepatu pantofel yang solnya agak keras. Itu membuat tumit Bara jadi sakit apalagi tadi ia berdiri cukup lama.

“Kenapa?” tanya Ai bingung.

“Tumit aku sakit banget. Aku salah pake sepatu. Tadinya, aku pikir untuk milih sol yang agak tinggi tapi jadinya malah sakit banget.”

Ai menatap Bara yang meringis sambil memegang pundaknya sebagai pegangan untuk Bara menjaga keseimbangannya.

“Kamu tunggu sini. Aku ambilin sendal di mobil. Kebetulan aku ada sendal dimobil.” kata Ai lalu berlari kecil menuju parkiran mobil untuk mengambil sendal selop yang ia bawa di mobil.

Tak beberapa lama, Ai kembali sambil membawa sendal selop berwarna hitam lalu menyuruh Bara mengganti sepatunya dengan sendal yang Ai bawa. Perlakuan Ai membuat Bara tersenyum kecil. Apalagi, ketika Ai membawa sepatunya ditangan kiri lalu mengenggam tangannya dengan tangan kanan.

“Makasih, ya.” kata Bara sambil tersenyum hingga matanya berbentuk bulan sabit.

“Iya, sama-sama. Besok-besok pakai sepatunya yang nyaman, ya. Kasian kaki kamu kalo dipaksa pakai sepatu kayak begini.” kata Ai sambil menunjuk sepatu pantofel Bara yang ia bawa ditangannya.

“Iya, pak dokter.”

Bara menatap jahil Ai lalu mereka sama-sama tertawa.

“Aku tuh suka lemah sama cowok act of service.”

“Halah!” Ai merotasikan kedua bola matanya malas membuat Bara tertawa lebar.

Cepat-cepat Bara mencuri kecup pada pipi Ai karena ia tidak tahan akan kegemasan sang kekasih. Bara benar-benar mencintai lelakinya ini dengan segenap hatinya.

“Aku enggak akan pernah biarin kamu pergi, Yi. Aku udah jatuh cinta sama kamu. Tolong, buat aku jatuh cinta sama kamu terus tiap hari.”

I will.”

Ai merengkuh pinggang Bara sebelum akhirnya mengecup bibir Bara. Untung area parkiran sedang sepi dan sedikit gelap karena mobil Ai terpakir agak pojok.

TIN!

Mereka tersentak kaget ketika mendengar suara klakson yang membuat mereka menyudahi ciuman mereka dan setelahnya mereka tertawa karena kejadian itu. Sepertinya, mereka harus mengurangi melakukan hal-hal intim di area publik.

“Bara!”

Panggilan nama itu membuat Bara menghentikan kegiatannya. Abel, teman satu kantornya yang duduk disebelahnya memberikan undangan pernikahan.

“Dateng ya, Bar.” ucap perempuan cantik itu sambil tersenyum.

Bara menatap undangan berwarna merah muda dan putih dengan aksen bunga sebagai hiasannya juga nama Abel juga calon suaminya.

“Makasih ya, Bel. Eh, lo mau makan siang di kantin kan? Bareng aja, mau?” tawar Bara lalu menaruh undangan disamping laptopnya.

Abel mengangguk lalu bangkit berdiri diikuti Bara. Mereka pergi ke kantin kantor untuk mencari menu makan siang.

“Katanya, bu Desi lo abis nikah resign, Bel. Beneran resign?” tanya Bara begitu mereka sudah sama-sama mendapatkan menu makan siang mereka. Mereka duduk disalah satu meja panjang di kantin kantor.

“Ho-oh, udah kesepakatan juga sih sama calon suami gue, Bar. Kalo nanti nikah gue bakal jadi ibu rumah tangga aja buat ngurus anak gue. Soalnya, setelah kita diskusi pekerjaan gue sama dia sama-sama sibuk dan setelah diitung-itung gaji calon suami gue lebih dari cukup buat menghidupi. Ya, paling kalo terpaksa banget gue kerja. Gue harus cari kerjaan hybird biar bisa ngurus anak juga.” cerita Abel.

“Lo rela jabatan lo yang selama ini lo pegang ilang gitu aja?” tanya Bara membiat Abel tertawa sambil memukul lengan Bara.

“Bar, ini bukan soal karir dan pekerjaan gue. Ini tuh soal komitmen gue untuk jadi istri dan ibu nantinya. Gue cuma enggak mau anak gue enggak dapet kasih sayang dari orang tuanya karena ortunya sibuk kerja. Gue juga jadi ibu yang enggak tau soal perkembangan anak gue. Emang awal rencana menikah, gue dan calon suami kan juga punya komitmen buat jadi orang tua. Ya, emang hal begitu enggak langsung jadi keputusan yang tepat. Ada kok gue sempet mikir kerjaan tapi ya balik lagi ke tujuan menikah.”

Bara mengangguk. Jadi, ingat Raka. Temannya itu juga akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya karena memiliki rencana punya anak. Tapi, apa iya resign jadi satu-satunya jalan?

“Menurut lo jadi hal yang wajib enggak, Bel kalo kita menikah terus resign?”

“Balik lagi sama kebutuhan dan kondisi keuangan sih, Bar. Lo sama calon lo nanti kan harus memperhitungkan gimana kehidupan rumah tangga lo nanti. Apakah nantinya pasangan lo sanggup hanya lo yang bekerja atau harus dua-duanya bekerja karena kondisi keuangan yang enggak memungkinkan. Kalau kita enggak punya finansial yang cukup gimana kita bisa ngerawat anak kita? Zaman sekarang tuh apa-apa mahal, Bar. Susu bayi aja hampir lima ratus ribu!”

Sebenarnya, komitmen punya anak jadi concern besar untuk Bara. Apalagi, notabenenya Bara dan Ai tidak mungkin memiliki anak dari darah daging mereka sendiri. Melihat Raka yang sekarang hidupnya 180 derajat berubah dari laki-laki karir menjadi laki-laki rumahan membuat Bara kadang tidak mampu membayangkan dirinya. Punya pencapaian tinggi pada pendidikan dan karirnya membuat Bara kadang besar kepala.

Ya, buat apa gue sekolah di luar negeri dapet gelar tapi abis itu cuma nganggur? Sayang banget.

Begitu prinsip Bara.

“Bar?”

“Hah?”

“Lo nanya-nanya gitu emang udah punya rencana buat menikah juga?”

Bara hanya tersenyum kecil. Tampak malu-malu tapi enggan mengakui ke teman satu kantornya itu jika ia juga memiliki rencana yang sama dengan Abel.

Bara membuka pintu unit apartemennya ketika ia melihat dari intercom sang kekasih berdiri didepan pintu unit apartemennya.

“Oh, jadi dateng juga. Kamu penasaran sama cerita bad mood aku, ya?” tanya Bara sambil mempersilakan Ai untuk masuk.

Ai tersenyum kecil lalu merengkuh pinggang Bara. Laki-laki itu mengecup bibir sang kekasih.

“Enggak, aku emang mau ketemu sama pacarku yang super sibuk melebihi presiden ini.”

Bara mendengus kesal lalu mendorong tubuh Ai. Ia lalu menyuruh Ai untuk mencuci tangannya sebelum akhirnya mereka berdua duduk berdampingan di sofa ruang tengah unit apartemen Bara.

“Aku kan dinas kemarin sama bosku. Terus pas pulang, waktu ada di pesawat dia nanya ke aku apa aku ada rencana menikah. Terus aku jawab ada. Tahun ini rencananya. Terus dia nanya juga calonnya temen sekantor apa bukan. Aku jawab bukan. Ya, pada akhirnya aku tuh kayak jujur gitu, Yi sama bosku. Nyebelinnya adalah dia tuh kayak nyindir aku gitu loh. Dia bilang kalo nikah tuh butuh budget sama waktu yang banyak. Dia bilang mulai sekarang dipikirin deh gimana kerjaan kamu kelar sebelum kamu ambil cuti!”

Ai tersenyum kecil mendengar keluhan Bara. Ia meraih kedua kaki Bara lalu Ai taruh diatas pahanya. Tangannya memijat kecil kaki ramping itu.

“Emang dia pikir aku kerja enggak bener apa gimana sih? Sampai harus disindir segitunya sama dia. Apalagi waktu, dia bilang katanya dia nikahin anak pertamanya tuh ribet banget dulu. Sebelumnya, dia nanya ke aku nikahan aku bakal pake wedding planner enggak terus aku jawab belum tau. Eh dia merepet bilang, katanya nikahnya tahun ini tapi kok belum tau. Emang kamu belum nentuin tanggal nikahnya?”

“Emang faktanya kita belum nentuin tanggal nikah sih, Bar.” kata Ai sambil menatap Bara.

Jawban itu membuat Bara terdiam. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh Ai sambil menaruh dagunya pada pundak sang kekasih.

“Jadi, mau kapan, hm?” tanya Bara lalu membubuhkan kecupan kecil pada pipi Ai.

“Akhir tahun ini?”

“Kamu serius?”

“Harus diseriusin kan? Soal persipan pernikahan kayaknya kita harus pake wedding planner sih. Karena kita berdua enggak punya waktu banyak. Aku udah sempet nanya temenku yang udah nikah dan emang rata-rata mereka pake wedding planner terus aku juga udah megang beberapa wedding planner. Buat tanggalnya coba tanya papamu deh. Kayak tanggal yang bagus buat kita nikah tuh kapan.”

“Kenapa?”

“Ada yang bilang katanya kalo kita nikah ditanggal yang enggak baik itu bakal jadi enggak berkah pernikahannya. Ya, itu masalah kepercayaan sih tapi buat ngelibatin orang tua kita dipernikahan kita kan enggak ada salahnya.”

“Hm, yaudah, nanti aku tanya papaku. Terus, masalah budget gimana?”

“Ada budget maksimal enggak? Aku sih paling minimal banget tiga ratus juta. Maksimalnya ya lima ratus paling. Tamu undangan enggak usah banyak-banyak. Emang kamu mau ngundang siapa aja?”

“Paling ya orang kantor tapi itu juga enggak banyak dan temen-temen aku. Raka, Jemmy, Sean.”

“Enggak banyak kan? Aku juga sama enggak akan ngundang banyak orang. Untuk keluarga nanti tanya papa mama kamu. Nanti aku juga bakal nanya mamaku untuk undang keluarga papaku juga.”

“Yi, minta restu papa, yuk? Kayaknya udah lama banget enggak nengok kuburan papa kamu. Pasti kan papa seneng anaknya udah mau menikah.” ucap Bara sambil tersenyum. Ia menggenggam tangan Ai sambil mengelusnya pelan.

“Iya, nanti aku ajak mama sekalian ya buat nyekar ke makam papa.”

Bara mengangguk. Ia memeluk tubuh Ai erat juga mengecup pundak serta menghirup aroma tubuh Ai.

“Kangen...”

“Oh, beneran kangen?” tanya Ai sambil terkekeh.

“Emang aku enggak boleh kangen?” tanya Bara sambil melirik sinis Ai.

“Boleh, sayang.”

Bara tersenyum kecil. Tubuhnya semakin menempel pada Ai padahal kekasihnya belum membersihkan tubuhnya.

“Kamu jangan bete-bete lagi kalo ada orang yang nanya soal pernikahan. Jangan terlalu dimasukin kedalam hati. Kan, emang pasti ada masanya orang-orang akan nanya secuil tentang kehidupan pribadi kita. Kadang, orang yang nanya bukan artinya mereka tuh kepo tapi bisa aja mereka peduli.”

Bara hanya bergumam untuk merespon ucapan Ai.

“Hari ini nginep sini aja. Baju kamu kan ada disini. Mau ya, Yi?”

“Aku bilang mamaku dulu kalo hari ini aku enggak pulang karena calon mantunya lagi kangen sama calon suaminya.” kata Ai sambil mengambil ponselnya dikantung celana.

Bara mencubit pinggang Ai hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan karena terlambat untuk menghindar.

“Nyebelin!”