tara sakit, gian khawatir
Yang Gian lakukan sesaat setelah ia menerima kabar kekasihnya yang sedang sakit adalah langsung pergi ke rumah Tara untuk melihat keadaan sang kekasih. Gian benar-benar khawatir. Terakhir, Tara sakit. Laki-laki mungil itu harus dirawat di rumah sakit selama tiga minggu. Gian tahu jika kekasihnya itu memang punya kondisi yang lemah akibat penyakit albino yang diderita Tara.
“Ibu, Tara...”
“Masuk dulu, Yan. Tara ada di kamar. Pakai masker, ya. Takut kamunya ketularan.” ucap Ibu dengan suara lembut. Seperti tahu jika Gian khawatir dengan Tara.
Gian menatap Ibu dengan tatapan khawatir. Ia masuk dengan langkah pelan sambil pundak dielus oleh Ibu.
“Tara enggak apa-apa, Yan. Memang badannya demam tadi pagi tapi sekarang sudah turun. Naik aja coba ke atas.” kata Ibu lagi sambil memberikan masker kepada Gian.
“Gian izin ya, bu.” kata Gian yang langsung diberikan anggukan oleh wanita paruh baya itu.
Gian membuka pelan pintu kamar Tara. Mata Gian menatap kekasihnya yang sedang tidur dibalim selimut tebal dengan plester penurun panas yang menempel didahinya dari jauh. Ia berjalan mendekat secara perlahan agar tidak menganggu tidur sang kekasihnya. Tangannya mengelus rambut Tara pelan.
Peraturan pertama, jangan pernah membahas soal penyakit Tara. Gian masih ingat betul bagaimana permintaan sang kekasih untuk tidak membahas penyakitnya. Katanya, Tara ingin dilihat sebagai manusia normal walaupun kebanyakan orang menyebutnya vampir.
“Aku enggak mau buat Gian khawatir soal penyakitku. Jadi, tolong jangan bahas soal itu.”
Setelah itu, Gian tidak pernah lagi membahas soal penyakit albino Tara walaupun rasa khawatir itu tidak hilang sepenuhnya apalagi ketika tahu bahwa Tara harus pergi ke rumah sakit untuk kontrol bulanan. Gian tahu jika sang kekasih punya daya tahan tubuh yang lemah.
“Gimana aku enggak khawatir, Ra kalo kamu sakit begini? Aku selalu khawatir sama kamu tapi aku enggak pernah bilang karena aku tau kalau kamu enggak suka. Tapi, tolong, Ra. Biarin kali ini aku ngelihatin rasa khawatir aku ke kamu.” gumam Gian sambil terus mengelus pelan puncak kepala Tara.
Tara membuka matanya yang terlihat sayu itu. Hal itu membuat Gian menarik tangannya.
“Aku kan bilang enggak apa-apa. Kenapa masih datang? Kalau Gian ketularan aku gimana?”
“Ra, gimana aku khawatir sama kamu. Tolong, kali ini aja, Ra. Tolong, biarin aku ngasih tau ke kamu kalo aku khawatir sama kamu. Aku tau kamu enggak mau keliatan lemah, kamu enggak mau keliatan kalo kamu sakit tapi aku selalu khawatir sama keadaan kamu.”
“Yan, aku juga khawatir sama kamu kalo kamu bakal sakit kayak aku juga karena aku enggak punya kemampuan kayak orang lain buat ngejagain kamu. Jadi, tolong jaga diri...”
“Siapa bilang kalau kamu enggak bisa jaga aku?” tanya Gian sambil melepas masker yang ia pakai. “Kamu selalu jaga aku kok. Kamu enggak ada bedanya sama orang lain. Kamu sama kayak mereka dalam hal menjaga aku.”
Tara terdiam. Sorot mata khawatir yang Tara tangkap membuat Tara memeluk Gian. Tidak peduli lagi jika nanti Gian tertular yang penting sekarang Tara bisa menenangkan Gian dulu.
“Badan kamu anget. Enak.” gumam Gian sambil mencuri kecup pada pundak. “Kayaknya kalo aku enggak nengok kamu. Aku enggak bakal ngerasain badan sehangat ini.”
Tara yang kini duduk dipangkuan Gian hanya mendengus kesal. Suhu tubuh Gian yang dingin membuat Tara nyaman.
“Nanti kalau kamu ketularan...”
“Cuma flu. Semua orang pernah kena flu, Tara bahkan aku beberapa kali pernah kena flu akhirnya sembuh juga kan? Itu penyakit yang kecil!”
“Kamu tuh badung banget deh!”
Gian tertawa lalu membubuhkan kecupan pada kedua pipi Tara.
“Sayangnya Gian cepat sembuh ya biar bisa main bareng Gian lagi. Okay?”
“Okay! Terima kasih, Gian udah mau jenguk Tara.”
Gian mengangguk. “Aku kelonin ya tidurnya.”
“Gian, udah malem tau. Kamu enggak mau pulang apa?”
“Aku bakal pulang kalo kamunya udah tidur. Sekarang aku mau kelonin peri kecil aku dulu sampe pergi ke dunia mimpinya.”
Tara tersenyum. Ia sungguh tidak pernah disayang sebegini besarnya oleh orang lain selain ibu dan ayahnya. Tara pikir ia benar-benar bertemu dengan orang yang tepat. Bertemu dengan Gian adalah hal yang paling indah yang pernah ia rasakan selama hidupnya.
Gian, kalau nanti umurku enggak panjang. Setidaknya, aku sudah pernah merasakan hal indah seperti ini; disayang dengan seluruh cinta dari dirimu.
Gian mungkin tidak tahu jika doa terbesar Tara adalah berumur panjang agar tetap bisa merasakan afeksi sayang dari seorang Gian.
“Gian...”
“Enggak apa-apa, Ra. Nanti, Ibu bilang ke mamanya Gian kalau anaknya ketiduran.” kata Ibu yang kebetulan masuk ke kamar Tara untuk membawa minum baru untuk Tara.
“Terima kasih, ibu.”