“Bara!”
Panggilan nama itu membuat Bara menghentikan kegiatannya. Abel, teman satu kantornya yang duduk disebelahnya memberikan undangan pernikahan.
“Dateng ya, Bar.” ucap perempuan cantik itu sambil tersenyum.
Bara menatap undangan berwarna merah muda dan putih dengan aksen bunga sebagai hiasannya juga nama Abel juga calon suaminya.
“Makasih ya, Bel. Eh, lo mau makan siang di kantin kan? Bareng aja, mau?” tawar Bara lalu menaruh undangan disamping laptopnya.
Abel mengangguk lalu bangkit berdiri diikuti Bara. Mereka pergi ke kantin kantor untuk mencari menu makan siang.
“Katanya, bu Desi lo abis nikah resign, Bel. Beneran resign?” tanya Bara begitu mereka sudah sama-sama mendapatkan menu makan siang mereka. Mereka duduk disalah satu meja panjang di kantin kantor.
“Ho-oh, udah kesepakatan juga sih sama calon suami gue, Bar. Kalo nanti nikah gue bakal jadi ibu rumah tangga aja buat ngurus anak gue. Soalnya, setelah kita diskusi pekerjaan gue sama dia sama-sama sibuk dan setelah diitung-itung gaji calon suami gue lebih dari cukup buat menghidupi. Ya, paling kalo terpaksa banget gue kerja. Gue harus cari kerjaan hybird biar bisa ngurus anak juga.” cerita Abel.
“Lo rela jabatan lo yang selama ini lo pegang ilang gitu aja?” tanya Bara membiat Abel tertawa sambil memukul lengan Bara.
“Bar, ini bukan soal karir dan pekerjaan gue. Ini tuh soal komitmen gue untuk jadi istri dan ibu nantinya. Gue cuma enggak mau anak gue enggak dapet kasih sayang dari orang tuanya karena ortunya sibuk kerja. Gue juga jadi ibu yang enggak tau soal perkembangan anak gue. Emang awal rencana menikah, gue dan calon suami kan juga punya komitmen buat jadi orang tua. Ya, emang hal begitu enggak langsung jadi keputusan yang tepat. Ada kok gue sempet mikir kerjaan tapi ya balik lagi ke tujuan menikah.”
Bara mengangguk. Jadi, ingat Raka. Temannya itu juga akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya karena memiliki rencana punya anak. Tapi, apa iya resign jadi satu-satunya jalan?
“Menurut lo jadi hal yang wajib enggak, Bel kalo kita menikah terus resign?”
“Balik lagi sama kebutuhan dan kondisi keuangan sih, Bar. Lo sama calon lo nanti kan harus memperhitungkan gimana kehidupan rumah tangga lo nanti. Apakah nantinya pasangan lo sanggup hanya lo yang bekerja atau harus dua-duanya bekerja karena kondisi keuangan yang enggak memungkinkan. Kalau kita enggak punya finansial yang cukup gimana kita bisa ngerawat anak kita? Zaman sekarang tuh apa-apa mahal, Bar. Susu bayi aja hampir lima ratus ribu!”
Sebenarnya, komitmen punya anak jadi concern besar untuk Bara. Apalagi, notabenenya Bara dan Ai tidak mungkin memiliki anak dari darah daging mereka sendiri. Melihat Raka yang sekarang hidupnya 180 derajat berubah dari laki-laki karir menjadi laki-laki rumahan membuat Bara kadang tidak mampu membayangkan dirinya. Punya pencapaian tinggi pada pendidikan dan karirnya membuat Bara kadang besar kepala.
Ya, buat apa gue sekolah di luar negeri dapet gelar tapi abis itu cuma nganggur? Sayang banget.
Begitu prinsip Bara.
“Bar?”
“Hah?”
“Lo nanya-nanya gitu emang udah punya rencana buat menikah juga?”
Bara hanya tersenyum kecil. Tampak malu-malu tapi enggan mengakui ke teman satu kantornya itu jika ia juga memiliki rencana yang sama dengan Abel.