Gian tidak pernah marah pada Tara tapi kali ini rasanya ia ingin marah karena Tara meninggalkannya. Bukan untuk sementara tapi untuk selama-lamanya. Baru ia ketahui dari cerita Ibu kalau Tara sakit. Tara sakit dan Gian tidak ada disamping Tara.

“Ra, kamu...” tangan Gian yang bergetar memegang pinggiran peti mati Tara yang berwarna putih.

“Cantik, Ra. Peri kecil Gian selalu cantik.”

Gian masih belum bisa percaya padahal jelas-jelas ia melihay bagaimana kekasihnya tidur didalam peti mati. Rasanya, saat ini bukan Tara kekasihnya yang tertidur disana.

“Apa yang aku takutin ternyata kejadian ya, Ra? Larangan buat enggak khawatir sama kamu ternyata begini akhirnya. Aku marah sama kamu, Ra. Aku marah karena kamu begini. Diam lalu pergi.”

Disentuhnya tangan hangat itu lalu diusap pelan. Wajah Gian mendekat lalu memberikan kecup pada tangan Tara.

“Gian, Tara meminta ibu untuk memberikan ini ke kamu.” kata ibu Tara sambil memberikan secarik surat yang dilipat rapi.

Gian menerima surat itu. Ia kantongi di kantong jaketnya. Gian simpan baik-baik surat itu sampai ia siap membuka dan membacanya.