Bara membuka pintu unit apartemennya ketika ia melihat dari intercom sang kekasih berdiri didepan pintu unit apartemennya.

“Oh, jadi dateng juga. Kamu penasaran sama cerita bad mood aku, ya?” tanya Bara sambil mempersilakan Ai untuk masuk.

Ai tersenyum kecil lalu merengkuh pinggang Bara. Laki-laki itu mengecup bibir sang kekasih.

“Enggak, aku emang mau ketemu sama pacarku yang super sibuk melebihi presiden ini.”

Bara mendengus kesal lalu mendorong tubuh Ai. Ia lalu menyuruh Ai untuk mencuci tangannya sebelum akhirnya mereka berdua duduk berdampingan di sofa ruang tengah unit apartemen Bara.

“Aku kan dinas kemarin sama bosku. Terus pas pulang, waktu ada di pesawat dia nanya ke aku apa aku ada rencana menikah. Terus aku jawab ada. Tahun ini rencananya. Terus dia nanya juga calonnya temen sekantor apa bukan. Aku jawab bukan. Ya, pada akhirnya aku tuh kayak jujur gitu, Yi sama bosku. Nyebelinnya adalah dia tuh kayak nyindir aku gitu loh. Dia bilang kalo nikah tuh butuh budget sama waktu yang banyak. Dia bilang mulai sekarang dipikirin deh gimana kerjaan kamu kelar sebelum kamu ambil cuti!”

Ai tersenyum kecil mendengar keluhan Bara. Ia meraih kedua kaki Bara lalu Ai taruh diatas pahanya. Tangannya memijat kecil kaki ramping itu.

“Emang dia pikir aku kerja enggak bener apa gimana sih? Sampai harus disindir segitunya sama dia. Apalagi waktu, dia bilang katanya dia nikahin anak pertamanya tuh ribet banget dulu. Sebelumnya, dia nanya ke aku nikahan aku bakal pake wedding planner enggak terus aku jawab belum tau. Eh dia merepet bilang, katanya nikahnya tahun ini tapi kok belum tau. Emang kamu belum nentuin tanggal nikahnya?”

“Emang faktanya kita belum nentuin tanggal nikah sih, Bar.” kata Ai sambil menatap Bara.

Jawban itu membuat Bara terdiam. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh Ai sambil menaruh dagunya pada pundak sang kekasih.

“Jadi, mau kapan, hm?” tanya Bara lalu membubuhkan kecupan kecil pada pipi Ai.

“Akhir tahun ini?”

“Kamu serius?”

“Harus diseriusin kan? Soal persipan pernikahan kayaknya kita harus pake wedding planner sih. Karena kita berdua enggak punya waktu banyak. Aku udah sempet nanya temenku yang udah nikah dan emang rata-rata mereka pake wedding planner terus aku juga udah megang beberapa wedding planner. Buat tanggalnya coba tanya papamu deh. Kayak tanggal yang bagus buat kita nikah tuh kapan.”

“Kenapa?”

“Ada yang bilang katanya kalo kita nikah ditanggal yang enggak baik itu bakal jadi enggak berkah pernikahannya. Ya, itu masalah kepercayaan sih tapi buat ngelibatin orang tua kita dipernikahan kita kan enggak ada salahnya.”

“Hm, yaudah, nanti aku tanya papaku. Terus, masalah budget gimana?”

“Ada budget maksimal enggak? Aku sih paling minimal banget tiga ratus juta. Maksimalnya ya lima ratus paling. Tamu undangan enggak usah banyak-banyak. Emang kamu mau ngundang siapa aja?”

“Paling ya orang kantor tapi itu juga enggak banyak dan temen-temen aku. Raka, Jemmy, Sean.”

“Enggak banyak kan? Aku juga sama enggak akan ngundang banyak orang. Untuk keluarga nanti tanya papa mama kamu. Nanti aku juga bakal nanya mamaku untuk undang keluarga papaku juga.”

“Yi, minta restu papa, yuk? Kayaknya udah lama banget enggak nengok kuburan papa kamu. Pasti kan papa seneng anaknya udah mau menikah.” ucap Bara sambil tersenyum. Ia menggenggam tangan Ai sambil mengelusnya pelan.

“Iya, nanti aku ajak mama sekalian ya buat nyekar ke makam papa.”

Bara mengangguk. Ia memeluk tubuh Ai erat juga mengecup pundak serta menghirup aroma tubuh Ai.

“Kangen...”

“Oh, beneran kangen?” tanya Ai sambil terkekeh.

“Emang aku enggak boleh kangen?” tanya Bara sambil melirik sinis Ai.

“Boleh, sayang.”

Bara tersenyum kecil. Tubuhnya semakin menempel pada Ai padahal kekasihnya belum membersihkan tubuhnya.

“Kamu jangan bete-bete lagi kalo ada orang yang nanya soal pernikahan. Jangan terlalu dimasukin kedalam hati. Kan, emang pasti ada masanya orang-orang akan nanya secuil tentang kehidupan pribadi kita. Kadang, orang yang nanya bukan artinya mereka tuh kepo tapi bisa aja mereka peduli.”

Bara hanya bergumam untuk merespon ucapan Ai.

“Hari ini nginep sini aja. Baju kamu kan ada disini. Mau ya, Yi?”

“Aku bilang mamaku dulu kalo hari ini aku enggak pulang karena calon mantunya lagi kangen sama calon suaminya.” kata Ai sambil mengambil ponselnya dikantung celana.

Bara mencubit pinggang Ai hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan karena terlambat untuk menghindar.

“Nyebelin!”